Wanita yang Berbeda
Pukul 16.30 Aku datang tepat waktu. Sore ini, kami berdua berjanji
untuk kembali bertemu setelah hampir satu minggu semua pekerjaan menyita
seluruh waktuku. Dari depan pintu, Aku dapat melihatnya duduk di sudut cafe,
sedikit terpisah dari pengunjung lainnya. Tempat biasa kami menghabiskan
segelas kopi dalam genggaman masing-masing. Seperti biasa ia selalu datang
lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
“aku tak suka menunggu, itu lah alasannya kenapa aku tak ingin membuat orang lain menunggu.” Itu yang selalu ia katakan. Dan aku belajar hal itu darinya.
“aku tak suka menunggu, itu lah alasannya kenapa aku tak ingin membuat orang lain menunggu.” Itu yang selalu ia katakan. Dan aku belajar hal itu darinya.
Ia langsung tersenyum saat menyadari kehadiranku. Masih
menggunakan blezer kerja berwarna hitam,yang menandakan bahwa ia tak sempat
pulang ke rumah. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Rasa lelah terpancar
jelas di wajahnya, entah karena pekerjaan atau karena hubungannya dengan
laki-laki itu. Tapi bagaimanapun, Ia selalu terlihat cantik.
Aku melanjutkan langkahku dan duduk di hadapannya. Tanpa
banyak haha dan hihi akhirnya kami memesan cappuccino dan tiramisu
masing-masing satu.
Dua gelas cappuccinodan dua potong tiramisu datang tak
lama setelah kami selesai menanyakan kabar. Ia menjawab bahwa ia baik-baik
saja, tapi aku tahuia tidak sedang baik-baik saja. Setelah tegukan pertama, ia
menghela nafas panjang. Aku benar-benar yakinbahwa ia tidak sedang baik-baik
saja.
Tangismu pecah, pada helaan nafas di akhir cerita.
Sepertinya kamu tak lagi mampu menahan beban berat yang sejak tadi membuatmu
menghela nafas berkali-kali. Ceritamu selalu sama, tentang Dia yang kembali
menyakitimu dengan semua hal yang ia lakukan, dengan semua hal yang ia katakan.
Aku benci mendengarnya.
Aku mengenalmu lebih dari siapapun yang pernah kamu
kenal, kita telah bersama lebih lama dari siapapun yang pernah bersamamu. Aku
tahu kamu, sifatmu, kebiasaanmu. Tapi sampai sekarang aku tak pernah mengerti
jalan fikiranmu. Aku tak pernah bisa sepenuhnya tahu apa yang kamu fikirkan.
Aku... aku... tak pernah tahu, kenapa kamu masih saja bertahan.
Ia menyakitimu, lagi, lagi dan lagi. Tapi, Kamu masih tetap
mencintainya. Ia mengecewakanmu, lagi, lagi dan lagi. Tapi kamu masih tetap
bertahan di sampingnya.
“aku yakin kok, dia bakal berubah.” Katamu di sela isak
tangis.
“tapi, aku nggak yakin.” kataku. Dan kamu hanya akan
tersenyum mendengar semua omelanku.
Aku tahu sekali tentang hubunganmu dengan laki-laki itu.
3 tahun, aku tak menyangka kamu bisa bertahan selama ini menghadapi laki-laki
seperti itu. Ini bukan pertama kalinya kamu menangis hingga separah ini.
Penjaga cafe pun sudah tahu, dan mungkin mereka sudah memakluminya.
Berulang kali aku memberitahumu bahwa Dia tak akan
berubah, Dia adalah orang yang salah. Namun aku menyerah,sampai kapan pun kamu
tak akan pernah mendengarkanku. Tugasku, hanya menjadi seorang pendengar yang
baik untukmu.
Kita berteman sudah sangat-sangat lama. Aku selalu
menjagamu. Aku tak ingin satu orangpun menyakitimu. Tapi dia datang,
menghancurkan apa yang selalu aku jaga. Dan aku... tak bisa berbuat apa-apa.
Ada rasa sakit yang teramat saat kamu menangis di hadapanku. Ada debar yang tak
terduga saat jemariku menggenggam erat jemarimu ―yang bermaksud untuk
menguatkan.
Aku tahu, tak seharusnya rasa sayangku berubah menjadi
apa yang orang-orang sebut dengan cinta. Aku tahu, tak seharusnya aku jatuh
cinta padamu. Kita tumbuh bersama, hingga akhirnya aku mempunyai rasa. Aku tahu
ini kesalahan terbesar yang pernah ku lakukan. Aku menginginkanmu, namun tak
ingin kamu ikut terjerumus bersamaku.
Aku pun tak mengerti tentang perasaan ini, bukan cuma
sekali aku mengutuk diriku sendiri, tapi pada akhirnya aku harus mengerti bahwa
ini telah terjadi. Aku telah jatuh cinta padamu, tapi... aku, sudahlah. Aku
tahu aku hanya akan menjadi teman terbaikmu.
Suaramu mulai parau saat berkata. “Aku tak apa-apa.” Dan
kembali meneguk cappuccino yang hampir dingin. Tapi nyatanya tangismu lebih
banyak menceritakan apa yang kamu rasakan dibandingkan kata-kata yang kamu
ucapkan. Tapi kamu, masih bisa berkata bahwa kamu tak apa-apa.
Lagi-lagi aku tak mengerti jalan fikiranmu.
Aku masih tak mengerti, saat kamu bilang tak bisa
meninggalkannya. Aku hanya mengerti, bahwa kamu terlalu melihat pada satu titik
hitam hinggak tak sadar ada pelangi yang mengelilingi titik hitam itu. Aku
hanya mengerti, kamu terlalu melihat pada jurang dalam di hadapanmu hingga kamu
tak sadar bahwa ada jembatan yang siap menyeberangkanmu.
Aku tahu, tak seharusnya aku berharap menjadi pelangi
yang mengelilingi titik hitam itu. Aku tahu, tak sepantasnya aku berharap
menjadi jembatan yang akan menyebrangkanmu melewati jurang.
ini cerita yang ke 2 yang bikin gua enek :3
BalasHapusdi pertengahan bacanya sampe jidat mengkerut.
eehh.. di akhir bikin jidat mengelupas :3
hahahaha. semoga itu termasuk pujian ya kak. terima kasih banyak udah baca. :D
HapusSuka dengan cerita ini
BalasHapus