I untuk Ikan, ID untuk Identitas*
“Dari
mana kamu tahu kamu adalah A?”
“Dari
orang-orang yang menyebut dan
memanggil
saya dengan nama A.”
“Sudahlah,
berhenti menanyakan pertanyaan
yang hanya akan membuat saya semakin tidak
mengenal siapa saya!”
A untuk
Awal
Saya terteror
oleh tingkah laku A, tokoh utama dalam pementasan ID yang tampak begitu gelisah
sebab tidak dapat mengenal dirinya sendiri. Ia merasa kosong lalu mencari apa
saja yang dapat mengisi dirinya. Ia mencari pada cermin yang memantulkan sosok semasa
kecilnya yang terus menuding. Ia mencari pada ruang kelas yang setiap hari
hanya menampilkan monolog bukan dialog. Ia mencari pada kisah percintaan yang
memberinya kepuasan melalui kenikmatan sesaat tetapi malah semakin membuat ia
kehilangan dirinya sendiri.
Ia hadiri
pesta-pesta yang ramai. Ia dengarkan lagu yang sedang orang-orang dengarkan. Ia
ikuti gerombolan yang tak satu pun dari mereka tahu hendak ke mana. Ia keluhkan
berbagai hal pada siapa saja yang ia temui, tetapi menghindari semua yang
dikatakan pikirannya. Tak jauh berbeda dengan yang terjadi pada saya. Atau mungkin
saya hanya merasa terlalu terwakili oleh A, sehingga semua yang A alami seperti
terjadi pula pada saya.
Belum selesai
sampai di situ. Saya kembali terteror oleh suara pelantang usang pada puncak
menara yang menjulang di tengah panggung pementasan. Di bawah menara itu, terkurung
seorang anak yang memegang jam beker pada awal pementasan. Saya kira anak itu adalah
tokoh A semasa kecil yang ia kurung dalam kepalanya. Tidak hanya A yang
mengurung jiwa kanak-kanaknya, beberapa dari kita juga mungkin melakukan hal sama.
Ada yang mengurungnya dalam potret, dalam cermin, dalam buku harian yang
terkunci, dalam boneka beruang coklat yang telah berdebu, atau dalam mainan-mainan
yang tak lagi berserakan.
B
untuk Berbohong
Pelantang suara
itu menanyakan banyak hal yang tak bisa dijawab oleh A. Apabila
pertanyaan-pertanyaan itu diajukan pada saya, mungkin saya juga tidak dapat
menjawabnya dengan mudah. Walaupun bisa, mungkin jawaban saya akan berisi lebih
banyak kebohongan seperti jawaban yang A berikan. Kebohongan yang muncul karena
ketidaktahuan A dan diri saya sendiri. Disadari atau tidak, kita akan membangun
lebih banyak kebohongan setelahnya. Lalu kita lupa bahwa kita tengah berbohong
dan terjebak pada kebohongan yang kita buat.
Cukup merasa
yakin bahwa kita telah benar-benar yakin hanya agar merasa lebih aman. Menyelamatkan
diri dengan ikut gerombolan dan mengikuti kebenaran yang lebih banyak diyakini.
Saya seperti melihat ikan-ikan yang hidup bergerombol, bergantung pada arus,
dan tidak merasa gelisah jika ia dipanggil bebek atau ayam sekali pun. Ia juga
tidak peduli sudah menjadi ikan atau belum.
Namun, apa yang salah
dari menjadi ikan atau tidak mengenal diri sendiri? Bukankah meski demikian kehidupan
kita akan terus berjalan sebagaimana seharusnya? Sebagaimana yang diharuskan
oleh orang tua kita, yang diharuskan keyakinan yang kita imani, yang diharuskan
kebijakan pemerintah, yang diharuskan oleh guru di sekolah dan dosen di kampus,
dan sebagaimana yang diharuskan tata tertib kamar kos yang kita tempati.
Setelahnya kita
tetap dapat mencari pekerjaan yang diharuskan agar dapat memenuhi kebutuhan
kita sehari-hari. Jika ada lebihnya kita bisa dapat apa yang kita inginkan.
Keinginan yang diinginkan oleh orang kebanyakan. Membayangkannya saja saya
sudah ketakutan.
Foto Dokumentasi Pementasan oleh Siti Nuraisyah |
C
untuk Cukup
Ketakutkan yang
sama mungkin dirasakan oleh Imaf M Liwa selaku sutradara lakon ID sehingga
pementasan tersebut bisa tercipta. Alumni yang belum lama menyandang gelar
sarjana dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Untirta ini
mungkin semakin mengelisahkan tentang identitas setelah ia tidak lagi bisa
bersembunyi dibalik status mahasiswa.
Dengan membangun
panggung yang terbagi dua, Kak Imaf, begitu biasa saya memanggilnya, ingin
menampilkan ruang kenyataan dan ruang pikiran tokoh yang sering kali berdebat. Konsep
untuk melibatkan penonton dalam pertunjukan juga menjadi tawaran yang menarik
dari sutradara. Sepanjang pementasan perdana Komunitas Kembali ini penonton diperbolehkan
ikut masuk dan terlibat langsung dalam adegan demi adegan yang ditampilkan.
Saya sangat suka
adegan saling melempar dengan gumpalan kertas yang sudah diberikan sejak awal
penonton masuk. Masing-masing penonton diberikan dua gumpalan. Entah mengapa ada
energi cukup besar yang mendorong saya untuk mengambil gumpalan kertas itu
lebih banyak. Sasaran utama saya adalah tokoh A dan Pak Farid Wahid, Manjer Program
sekaligus dosen saya. Saya cukup puas bisa melempar beliau sama seperti rasa
puas yang saya lihat di wajah teman-teman saya.
Mungkin ini bisa
dijadikan treatment untuk melepaskan
emosi. Saya hampir lupa bahwa saya sedang menjadi penonton bukan pemain. Saya juga
tak dapat mengindari beberapa gumpalan kertas yang mendarat di pelipis dan bahu
saya. Pada keadaan ini setiap orang berhak melempar dan menerima lemparan.
Namun, sangat
disayangkan durasi pementasan yang tidak lebih dari 40 menit sepertinya belum
cukup untuk menjelaskan tentang identitas. Terlalu banyak simbol yang coba
dimasukan dalam fragmen dan ditampilkan dengan terburu-buru sehingga tidak
seluruhnya dapat dinikmati. Tak ada tawaran mengenai identitas yang sedang
dibicarakan, sutradara hanya menampilkan apa yang sedang terjadi, selesai
sampai di situ.
Segala tentang
dunia tidak bisa dipadatkan menjadi sebuah pil yang sekali telan efeknya bisa
dirasakan tanpa harus berpikir bagaimana cara pil itu bekerja. Manusia menerima
berbagai hal dari luar tapi tidak hanya untuk menampung. Ia harus mengolah
beberapa atau langsung memuntahkannya bila tak sanggup menelannya. Sepertinya
tak akan jadi baik jika kita terlalu banyak menampung apalagi jika sampai penuh
lalu luber dan kembali merasa kosong.
*) refleksi lakon ID persembahan Komunitas
Kembali dengan sutradara Imaf M Liwa. Kampus C Untirta, Minggu, 29 Oktober
2017.
nice
BalasHapus