Dia
Senja mulai beranjak petang, namun gadis itu masih tetap
berdiri disudut taman yang mulai tertutup gelap malam. Tak ada yang ia lakukan
selain menanti, menanti laki-laki yang baru saja pergi, kalau-kalau laki-laki
itu akan kembali.
“Seharusnya aku tak sedih! Seharusnya aku tak merasa sedikitpun kecewa!
Bukankah seharusnya aku merasa bahagia?! Tuhan sangat baik, bahkan terlalu
baik. Sehingga dengan cepat Tuhan menunjukan kebenaran yang sesungguhnya.”
Batinnya. Tak ada satupun kata yang keluar dari bibir mungilnya. Hanya ada air
mata yang mewakili semua perasa.
Sepanjang perjalanan pulang ia harus melangkah sendiri.
Kini yang ia butuhkan hanyalah sebuah pelukan hangat yang mampu menenangkan dan
genggaman tangan yang akan menguatkan. Namun lagi-lagi ia harus menelan pil
kekecewaan saat tersadar tak ada satupun orang disampingnya. Kini, semuanya
seakan menjauh pergi, ia benar-benar merasa sendiri.
Hingga akhirnya rumah menjadi satu-satunya tempat untuk
kembali saat semua beranjak pergi. Lagi-lagi aku harus melihat ia kembali
menangis, ia terus menangis tanpa henti. Kini sosoknya ada didalam cermin,
tepat dihadapanku...
Lihat! Betapa lemahnya ia! Betapa bodohnya ia selama ini!
Dan lagi tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis!
Kali ini aku benar-benar ingin membuatnya berhenti
menangis, membuatnya tersadar bahwa hidup tak akan berhenti sampai disini,
mengganti semua airmata menjadi tawa bahagia.
Namun, lagi-lagi aku tak bisa membuat airmataku berhenti
mengalir...
Komentar
Posting Komentar