Rumah
Hujan kembali turun,
senja yang harusnya jingga kini terpaksa berubah menjadi kelabu.
Perpustakaan sekolah yang awalnya sepi, kini mulai ramai oleh tetesan
hujan yang jatuh menyentuh atap. Rasanya semakin enggan untukku
beranjak dari sini. Bukan karena aku termasuk anak yang rajin, hingga
sampai saat ini aku masih bertahan disini. Hanya saja, tempat ini
adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa mendapatkan ketenangan dan
menyembunyikan semua kenangan.
Ku
alihakan pandanganku dari buku yang tengah ku baca. Dari tempatku
duduk kini, aku bisa melihat dengan jelas setiap sudut dari ruang
perpustakaan. Sepi... benar-benar sepi. Mungkin, hanya tinggal aku
dan penjaga perpus yang ada disini. Ku lihat jam dipergelangan
tangan, beberapa menit lagi mau tak mau aku harus segera beranjak
dari sini dan kembali ke rumah.
Oh
iya, rumah...
Tempat
yang ku tinggali saat ini, masih pantaskah aku menyebutnya rumah?
Bukan karena bentuknya yang tak layak tapi, karena keadaan
didalamnya. Rumah berlantai dua itu kini tak lebih baik dari tempat
pengasingan.
Rumah
adalah satu-satunya tempat untuk kembali saat semua seakan-akan
menjauh pergi. Tapi bagaimana jika kenyataannya malah sebaliknya?
***
Fikiranku
membawaku kembali pada masa-masa yang pernah aku lewati. Bayangan
masalalu yang terus ku usir malah semakin kuat memaksa untuk kembali
hadir. Setahun yang lalu, rumah itu tak pernah sepi, rumah itu sama
seperti rumah-rumah lainnya yang selalu memberikan kebahagiaan. Saat
ini, aku masih bisa merasakan kehangatannya. Saat Ayah dan Ibu
tersenyum padaku, dulu.
Aku
berjalan melewati deretan bunga mawar yang tengah mekar –(bunga
kesukaan aku dan Ibu)– Dulu, ketika melewati bunga-bunga ini aku
selalu berlari tak sabar untuk segera masuk ke rumah dan mengagetkan
ibu. Tapi kini? Langkah kakiku tak lagi seriang dulu, senyumku ikut
pupus bersama bunga-bunga yang layu karena kehilangan pemiliknya.
Hingga
sesampai didepan pintu, langkahku semakin ragu. Tanpa mengucapkan
salam, aku membuka pintu. Aku sudah lama tak mengucapkan salam, bukan
karena aku tak pernah diajarkan sopan santun hanya saja aku lelah
merasa kecewa karenta tak pernah mendapatkan jawaban. Aku tahu ini
salah...
Masih
dengan sedikit harapan aku berjalan ke arah dapur, berharap akan
melihat Ibu sedang sibuk menyiapkan makanan atau sekedar mengingatkan
siMbah untuk mengecilkan api dan mencicipi makanan, kalau-kalau
kekurangan garam. Tapi, tak ada siapapun disana. Tak ada Ibu ataupun
siMbah. Jika sudah begini, aku hanya bisa berdiam diri dikamar
berharap Ayah akan pulang sambil membawa kejutan dan pelukan. Tapi
tak pernah ada yang pulang sejak sebulan yang lalu. Tak pernah,
bahkan ketika aku menelan satu botol penuh obat tidur.
Mungkin
saat ini Ibu sedang sibuk dengan pengadilan dan Ayah sedang sibuk
dengan Istri barunya. Entahlah, mulai saat ini aku tak ingin perduli.
Lebuh baik mereka berada diluar sana, dibandingkan disini hanya akan
membuat keributan, mengeluarkan umpatan dan memecahkan semua
perabotan. Mereka mungkin sudah lupa, bahwa dirumah ini ada seorang
gadis yang baru menginjak remaja yang tersakiti oleh apa yang telah
terjadi.
***
“Dek.
Perpustakaannya udah mau tutup.” Suara penjaga perpustakaan
membuyarkan semua lamunanku. Tanpa aku sadari perempuan paruh baya
itu tengah berdiri dan tersenyum disampingku.
“oh
iya, maaf bu.” Aku segera menyeka airmata yang mengalir dipipiku
kemudian tersenyum dan segera beranjak. Aku kesal. Lagi-lagi aku
menjadi orang lemah.
Hujan
telah reda, namun mega belum juga bertemu dengan cahaya. Hingga
akhirnya jingga tak pernah ada.
...
Rumah
seperti apa yang kamu miliki saat ini? Bagaimanapun rumahmu, dirimu
sendiri lah yang membuatnya pantas atau tidak disebut rumah...
Komentar
Posting Komentar